tag:blogger.com,1999:blog-79538415830532318332024-03-19T02:27:18.163-07:00Demam typoidIrma Desfikahttp://www.blogger.com/profile/14548833823375968030noreply@blogger.comBlogger1125tag:blogger.com,1999:blog-7953841583053231833.post-28805316286256146992011-07-14T00:11:00.000-07:002011-07-14T00:11:00.845-07:00Demam TypoidBAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar belakang <br />
Deman thipoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini <br />
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no 6 tahun 1962, <br />
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah <br />
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. <br />
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian deman thipoid di <br />
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi <br />
menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari <br />
tahun 1981-1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8 % yaitu dari <br />
19.596 menjadi 26.606 kasus. <br />
Insiden demam thipoid berfariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan <br />
sanitasi lingkungan ; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk <br />
sedangkan di daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan <br />
insiden di perkotaan erhubungan erat dengan penyediaan air bersish yang belum <br />
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi <br />
sarat kesehatan lingkungan. <br />
Case fatality rate (CFR) demam thipoid di tahun 1996 sebesar 1,08 % dari seluruh <br />
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah <br />
Tangga Departemen RI (SKRT depkes RI) tahun 1995 demam thipoid tidak termasuk <br />
dalam sepuluh penyakit dengan mortalitas tertingg<br />
1.2 Tujuan <br />
1) Untuk mengetahui bagaimana perjalanan penyakit thipoid. <br />
2) Untuk mengetahui jalannya suatu proses asuhan keperawatan tentang demam thipoid <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
KAJIAN TEORITIS<br />
DEFINISI<br />
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella <br />
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi <br />
oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, <br />
1994 ). <br />
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman <br />
salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ). <br />
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman <br />
salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah <br />
Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ). <br />
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga <br />
paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996). <br />
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala <br />
sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan <br />
terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer <br />
Orief.M. 1999). <br />
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid <br />
adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan <br />
C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi<br />
ETIOLOGI<br />
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada <br />
dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien <br />
dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus <br />
mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun. <br />
<br />
MANIFESTASI KLINIS<br />
Masa tunas typhoid 10 – 14 hari <br />
a Minggu I <br />
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan <br />
keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, <br />
epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut. <br />
b Minggu II <br />
pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas <br />
(putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan <br />
kesadaran. <br />
<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal <br />
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), <br />
dan melalui Feses. <br />
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella <br />
thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana <br />
lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila <br />
orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan <br />
<br />
makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat <br />
melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan <br />
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal <br />
dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, <br />
lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel <br />
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan <br />
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung <br />
empedu. <br />
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh <br />
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa <br />
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia <br />
berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus <br />
halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang <br />
sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. <br />
<br />
PENATALAKSANAAN <br />
1. Perawatan. <br />
–Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah <br />
komplikasi perdarahan usus. <br />
–Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila <br />
ada komplikasi perdarahan. <br />
2. Diet<br />
–Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein. <br />
–Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring. <br />
–Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim. <br />
–Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 <br />
hari. <br />
3. <br />
Obat-obatan. <br />
–Kloramfenikol. <br />
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral <br />
atau intravena, sampai 7 hari bebas panas <br />
–Tiamfenikol. <br />
Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari. <br />
–Kortimoksazol. <br />
Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 <br />
mg trimetoprim) <br />
–Ampisilin dan amoksilin. <br />
Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu <br />
–Sefalosporin Generasi Ketiga. <br />
dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus <br />
sekali sehari, selama 3-5 hari <br />
Golongan Fluorokuinolon <br />
Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari<br />
<br />
Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari <br />
Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari <br />
Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari <br />
Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari <br />
Kombinasi obat antibiotik. <br />
Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, <br />
peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan <br />
dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. <br />
(Widiastuti S, 2001) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
2.5 KOMPLIKASI <br />
a) Komplikasi intestinal <br />
–Perdarahan usus <br />
–Perporasi usus <br />
–Ilius paralitik <br />
a. Komplikasi extra intestinal <br />
–Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, <br />
trombosis, tromboplebitis. <br />
–Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia <br />
hemolitik. <br />
–Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis. <br />
–Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis. <br />
–Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis. <br />
–Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis. <br />
–Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis <br />
perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia. <br />
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG <br />
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan <br />
laboratorium, yang terdiri dari : <br />
1) Pemeriksaan leukosit <br />
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat <br />
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering <br />
dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah <br />
tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun <br />
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit <br />
tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid. <br />
2) Pemeriksaan SGOT DAN SGPT <br />
3) SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali <br />
normal setelah sembuhnya typhoid. <br />
4) Biakan darah<br />
<br />
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan <br />
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini <br />
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor : <br />
• <br />
Teknik pemeriksaan Laboratorium <br />
` <br />
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang <br />
lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. <br />
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada <br />
saat bakteremia berlangsung. <br />
• <br />
Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit. <br />
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu <br />
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh <br />
biakan darah dapat positif kembali. <br />
• <br />
Vaksinasi di masa lampau <br />
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan <br />
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga <br />
biakan darah negatif. <br />
• <br />
Pengobatan dengan obat anti mikroba. <br />
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba <br />
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin <br />
negatif. <br />
5) Uji Widal<br />
<br />
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). <br />
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan <br />
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan <br />
pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di <br />
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam <br />
serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien <br />
membuat antibodi atau aglutinin yaitu : <br />
–Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). <br />
–Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman). <br />
–Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) <br />
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan <br />
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid. <br />
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal : <br />
a. Faktor yang berhubungan dengan klien : <br />
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. <br />
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam <br />
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke- <br />
5 atau ke-6. <br />
3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai <br />
demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti <br />
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut. <br />
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba <br />
dapat menghambat pembentukan antibody<br />
<br />
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat <br />
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem <br />
retikuloendotelial. <br />
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa <br />
atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya <br />
menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H <br />
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin <br />
H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. <br />
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini <br />
dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer <br />
yang rendah. <br />
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap <br />
salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid <br />
pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu. <br />
b. Faktor-faktor Teknis <br />
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O <br />
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat <br />
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain. <br />
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji <br />
widal. <br />
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang <br />
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella <br />
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain. <br />
2.8 PENCEGAHAN<br />
<br />
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah <br />
dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum <br />
susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai <br />
mendidih dan hindari makanan pedas<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
ASUHAN KEPERAWATAN<br />
PENGKAJIAN<br />
<br />
I. Faktor presipitasi dan predisposisi <br />
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang <br />
tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan <br />
melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan <br />
tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang <br />
tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan <br />
menyiapkan makanan. <br />
<br />
II. Riwayat penyakit. <br />
A. Keluhan utama. <br />
Badan panas, sakit kepala, pusing, mual, muntah, tidak ada nafsu makan, <br />
perut terasa nyeri. <br />
B. Riwayat penyakit sekarang. <br />
Pasien sudah merasa tidak enak badan dan kurang nafsu makan <br />
sejak tgl 12-10-2001, disertai dengan sakit kepala, badan panas, mual dan <br />
ada muntah. Panas berkurang setelah minum obat parasetamol, tapi hanya <br />
sebentar kemudian panas lagi. Pada hari senin pasien dibawa ke RSU <br />
Banjarbaru dan dirawat inap<br />
C. Riwayat penyakit terdahulu. <br />
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti sekarang <br />
ini, pasien juga tidak pernah dirawat di RS, pernah sakit biasa seperti flu, pilek <br />
dan batuk, dan sembuh setelah minum obat biasa yang dijual di pasaran. <br />
Pasien juga diketahui sering pingsan bila merasa kelelahan. <br />
D. Riwayat Kesehatan Keluarga <br />
Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien. <br />
E. Riwayat Psikososial <br />
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih) <br />
Interpersonal : hubungan dengan orang lain. <br />
F. Pola Fungsi kesehatan <br />
- Pola nutrisi dan metabolisme <br />
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan <br />
pada usus halus. <br />
- Pola istirahat dan tidur <br />
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien <br />
merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare. <br />
<br />
III. Pemeriksaan Fisik <br />
<br />
A.Keadaan umum<br />
Kesadaran dan keadaan umum pasien. Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar – <br />
tidak sadar (composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis <br />
penyakit pasien. <br />
<br />
B. Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik :<br />
Kepala – kaki , Nadi, Respirasi, <br />
Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi <br />
pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan <br />
prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga <br />
penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan <br />
gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang <br />
dibutuhkan. <br />
1. Pernafasan B1 (breath) <br />
- Bentuk dada <br />
: simetris <br />
- Pola nafas : teratur <br />
- Suara nafas : tidak ada bunyi nafas tambahan <br />
- Sesak nafas : tidak ada sesak nafas <br />
- Retraksi otot bantu nafas: tidak ada <br />
- Alat bantu pernafasan <br />
: tidak ada alat bantu pernafasan <br />
2. Kardiovaskuler B2 (blood) <br />
- Irama jantung <br />
: teratur <br />
- Nyeri dada <br />
: tidak ada <br />
- Bunyi jantung <br />
: tidak ada bunyi jantung tambahan <br />
- Akral <br />
: Tangan bentuk simetris, tidak ada peradangan <br />
sendi dan oedem, dapat bergerak dengan bebas, akral hangat, tangan kanan <br />
terpasang infus. Kaki bentuk simetris, tidak ada pembatasan gerak dan oedem, <br />
akral hangat. <br />
3. Prsyarafan B3 (brain) <br />
- Penglihatan (mata) <br />
: Gerakan bola mata dan kelopak mata simetris, <br />
konjungtiva tampak anemis, sklera putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, <br />
produksi air mata (+), tidak menggunakan alat bantu penglihatan. <br />
- Pendengaran (telinga) <br />
: Bentuk D/S simetris, mukosa lubang hidung merah <br />
muda, tidak ada cairan dan serumen, tidak menggunakan alat bantu, dapat <br />
merespon setiap pertanyaan yang diajukan dengan tepat. <br />
- Penciuman (hidung) <br />
: Penciuman dapat membedakan bau-bauan, mukosa <br />
hidung merah muda, sekret tidak ada, tidak ada terlihat pembesaran mukosa atau <br />
polip. <br />
- Kesadaran <br />
: kompos mentis <br />
4. Perkemihan B4 (bladder) <br />
- Kebersiahan <br />
: bersih <br />
- Bentuk alat kelamin <br />
: normal <br />
- Uretra <br />
: normal <br />
- Produksi urin <br />
: normal, BAK tidak menentu, rata-rata4-6 X sehari, <br />
tidak pernah ada keluhan batu atau nyeri. <br />
5. Pencernaan B5 (bowel) <br />
- Nafsu makan <br />
: anoreksia <br />
- Porsi makan <br />
: ¼ porsi <br />
- Mulut <br />
: Bibir tampak kering, lidah tampak kotor <br />
( keputihan ), gigi lengkap, tidak ada pembengkakan gusi, tidak teerlihat <br />
pembesaran tonsil <br />
-Mukosa <br />
: pucat <br />
6. Musculoskeletal/integument B6 (bone) <br />
- Kemampuan pergerakan sendi <br />
: normal <br />
-Kondisi tubuh <br />
: kelelahan, malaise <br />
<br />
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN <br />
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah : <br />
a. Resiko tinggi ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan <br />
hipertermi dan muntah. <br />
b. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan <br />
dengan intake yang tidak adekuat. <br />
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi. <br />
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme <br />
sekunder terhadap infeksi akut <br />
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi <br />
atau informasi yang tidak adekuat<br />
<br />
3.3 RENCANA KEPERAWATAN <br />
Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan <br />
keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut : <br />
Diagnosa. 1 <br />
Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari <br />
kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah. <br />
Tujuan <br />
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi <br />
Kriteria hasil <br />
Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, <br />
tanda-tanda dehidrasi tidak ada <br />
Intervensi <br />
a. Awasi masukan dan keluaran perkiraan kehilangan cairan yang tidak terlihat <br />
Rasional: <br />
Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan elektrolit penyakit usus yang <br />
merupakan pedoman untuk penggantian cairan <br />
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa turgor kulit dan pengisian <br />
kapiler <br />
Rasional: <br />
Menunjukkan kehilangan cairan berlebih atau dehidrasi <br />
c. Kaji tanda vital <br />
Rasional : <br />
Dengan menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan <br />
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring <br />
Rasional: <br />
Kalau diistirahkan utnuk penyembuhan dan untuk penurunan kehilangan cairan usus <br />
e. Kolaborasi utnuk pemberian cairan parenteral <br />
Rasional: <br />
Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan cairan untuk mempertahankan <br />
kehilangan <br />
Diagnosa. 2 <br />
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan <br />
intake yang tidak adekuat <br />
Tujuan <br />
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi <br />
Kriteria hasil <br />
Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising <br />
usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva <br />
dan membran mukosa bibir tidak pucat. <br />
Intervensi <br />
a. Dorong tirah baring <br />
Rasional: <br />
Menurunkan kebutuhan metabolic untuk meningkatkan penurunan kalori dan simpanan <br />
energi <br />
b. Anjurkan istirahat sebelum makan <br />
Rasional<br />
<br />
Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energi makan <br />
c. Berikan kebersihan oral <br />
Rasional : <br />
Mulut bersih dapat meningkatkan nafsu makan <br />
d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan <br />
Rasional: <br />
Lingkungan menyenangkan menurunkan stress dan konduktif untuk makan <br />
e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat <br />
Rasional: <br />
Nutrisi yang adekuat akan membantu proses <br />
f. Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi <br />
Rasional: <br />
Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal, sementara memberikan nutrisi <br />
penting. <br />
Diagnosa 3 <br />
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi <br />
Tujuan <br />
Hipertermi teratasi <br />
Kriteria hasil <br />
Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi <br />
komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid. <br />
Intervensi <br />
a. Pantau suhu klien <br />
Rasional: <br />
Suhu 380 C sampai 41,10 C menunjukkan proses peningkatan infeksius akut<br />
<br />
b. pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai dengan <br />
indikasi <br />
Rasional: <br />
Suhu ruangan atau jumlah selimut harus dirubah, mempertahankan suhu mendekati <br />
normal <br />
c. Berikan kompres mandi hangat <br />
Rasional : <br />
Dapat membantu mengurangi demam. <br />
d. Kolaborasi pemberian antipiretik <br />
Rasional: <br />
Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya hipotalamus <br />
Diagnosa 4 <br />
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder <br />
terhadap infeksi akut <br />
Tujuan <br />
Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas <br />
Kriteria hasil <br />
Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot. <br />
Intervensi <br />
a. Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung <br />
Rasional: <br />
Menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan <br />
b. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik <br />
Rasional: <br />
Meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk <br />
menurunkan resiko kerusakan jaringan <br />
c. Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi <br />
Rasional : <br />
Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena keterbatasan aktifitas yang <br />
menganggu periode istirahat <br />
d. Berikan aktifitas hiburan yang tepat (nonton TV, radio) <br />
Rasional: <br />
Meningkatkan relaksasi dan hambatan energy <br />
Diagnosa 5 <br />
Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive <br />
Tujuan <br />
Infeksi tidak terjadi <br />
Kriteria hasil <br />
Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase <br />
serta febris. <br />
Intervensi <br />
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, <br />
monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan <br />
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi. <br />
Diagnosa 6<br />
<br />
Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau <br />
informasi yang tidak adekuat <br />
Tujuan <br />
Pengetahuan keluarga meningkat <br />
Kriteria hasil <br />
Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut <br />
serta dalam pengobatan. <br />
Intervensi: <br />
a. berikan nformasi tentang cara mempertahankan pemasukan makanan yang memuaskan <br />
dilingkungan yang jauh dari rumah <br />
Rasional: <br />
Membantu individu untuk mengatur berat badan <br />
b. Tentukan persepsi tentang proses penyakit <br />
Rasional: <br />
Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar individu <br />
c. Kaji ulang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang menimbulkan gejala <br />
dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor pendukung <br />
Rasional : <br />
Faktor pencetus/pemberat individu, sehingga kebutuhan pasien untuk waspada terhadap <br />
makanan, cairan dan faktor pola hidup dapat mencetuskan gejala <br />
3.4 EVALUASI <br />
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan <br />
untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, <br />
kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien <br />
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga <br />
klien mengerti tentang penyakitnya<br />
<br />
<br />
<br />
BAB IV <br />
PENUTUP <br />
4.1 KESIMPULAN <br />
Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak <br />
memperhatikan kebesihan makanan dan air. Salmonella yang mencari makanan dan <br />
minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena keadaan lingkungan. Telah <br />
dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium penyakit demam tifoid yang disebabkan <br />
oleh infeksi Salmonella typhoid dan Salmonella paratyphoid. <br />
Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit yang <br />
dapat menyebabkan kematian. Kemampuan para tenaga medis untuk dapat mendiagnosis <br />
dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan timbulnya penyulit. Diagnosis <br />
laboratorium meliputi pemeriksaan dari hematologi, urinalisis, kimia klinis, <br />
imunoserologis, mikrobiologi biakan sampai PCR. Penting untuk mengetahui kelebihan <br />
dan disesuaikan dengan waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan <br />
beberapa metode pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis <br />
bahan spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. <br />
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan data <br />
bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan kemungkinan besar <br />
dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan Salmonella paratyphoid yang <br />
datang baik dari unsur makanan dan minuman yang tela terkontaminasi oleh kuman <br />
tersebut. Maka dari itu kebersihan lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk <br />
menjaga agar tidak terinfksi. <br />
Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita, <br />
sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui. Oleh karena itu <br />
ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak sakit dijumpai sejumlah <br />
antibody terhadap Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya <br />
aglutinasi pada titer paling rendah. Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin <br />
sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal. Vaksinasi yang diberikan belum lama <br />
berselang dapat meningkatkan titer agglutinin, khususnya agglutinin H. <br />
4.2 EBP<br />
<br />
Penyakit Thypoid sering dihubungkan masyarakat awam dengan seseorang yang <br />
sering kelelahan seperti suka bergadang dan makan tidak teratur. Namun sebenarnya <br />
penyakit itu murni disebabkan bakteri yang menyerang usus halus (Siti M, 2009). <br />
Thypoid Adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam <br />
insidius yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, <br />
bradikardi relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya <br />
menunjukkan adanya “rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal <br />
penyakit, pada penderita dewasa lebih banyak terjadi konstipasi dibandingkan dengan <br />
diare. Gejala lebih sering berupa gejala yang ringan dan tidak khas. Pada demam Thypoid <br />
dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum yang dapat menyebabkan terjadinya <br />
perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering terjadi pada penderita <br />
yang terlambat diobati. <br />
Demam timbul tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran berkurang <br />
dan parotitis. CFR pada waktu belum ditemukannya antibiotika bisa mencapai 10 – 20%, <br />
saat ini CFR kurang dari 1% jika segera diberikan pengobatan dengan antibiotika yang <br />
tepat. <br />
Insiden demam Thypoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2003 sekitar 16 <br />
juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi <br />
91% kasus demam Thypoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah <br />
umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan Salmonella thypi yaitu pasien yang menderita <br />
demam Thypoid dan carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam Thypoid namun <br />
masih mengeksresikan Salmonella thypii dalam tinja selama lebih dari satu tahun. <br />
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang <br />
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna <br />
untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen <br />
O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini <br />
sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibodi IgM dan <br />
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. (Prasetyo, 2006)<br />
<br />
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji Widal. <br />
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas <br />
100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. <br />
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin <br />
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA <br />
Sudoyo, Aru.W dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit <br />
Dalam FK Universitas Indonesia : Jakarta <br />
Carpenito, L. J (1997). Buku Saku Keperawatan. Edisi VI.EGC: Jakarta <br />
http://hanikamioji.wordpress.com/2009/04/23/askep-typhoid/ <br />
http://herymrt.wordpress.com/2008/01/21/demam-tifoid/ <br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghXUqmeuvKjcNnh0PBWwfcA5KJkO-fw9IzUIhbBySTK7cxxNL-FTPAFh7LyL18i4Ox6GqddMVmFmtqGB5AzJlsz6VdyNmuAJSvAmOcGq68uAgp6HVGNfPySBPdaUc4d8CjWMVGrUz0Q7qO/s1600/typoid.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="208" width="243" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghXUqmeuvKjcNnh0PBWwfcA5KJkO-fw9IzUIhbBySTK7cxxNL-FTPAFh7LyL18i4Ox6GqddMVmFmtqGB5AzJlsz6VdyNmuAJSvAmOcGq68uAgp6HVGNfPySBPdaUc4d8CjWMVGrUz0Q7qO/s320/typoid.jpeg" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioh44YTp7Hxgj22R4SqVFOT1q5wvx0pmbQY6ZBGJ2wJ3Qn92UuUC1ufHQjy8oKXEF7OMjJ1ny1EVRfbW0ZgZ8Xgsabpg7ktbvvgZgH6LHeqYvZ2MFoNKOvIXE42UPrFQhfP_wtk9C5M7lS/s1600/typoid.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="208" width="243" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioh44YTp7Hxgj22R4SqVFOT1q5wvx0pmbQY6ZBGJ2wJ3Qn92UuUC1ufHQjy8oKXEF7OMjJ1ny1EVRfbW0ZgZ8Xgsabpg7ktbvvgZgH6LHeqYvZ2MFoNKOvIXE42UPrFQhfP_wtk9C5M7lS/s320/typoid.jpeg" /></a></div>Irma Desfikahttp://www.blogger.com/profile/14548833823375968030noreply@blogger.com0